Senin, 22 Juni 2020

Selamat Jalan Mamah




Pagi yang cerah hari itu, 5 Juni 2011. Saya bangun pagi untuk nikmati hari mingguku di dalam rumah. Maklum anak perantauan, jarang-jarang sekali pulang ke rumah. Seputar 3 bulan sekali saya dapat pulang, serta terkadang sampai 1/2 tahun tidak pulang. Jenis Bang Toyib yang tidak pulang-pulang.

Untuk mahasiswa veteran alias sesepuh yang hampir tidak ada mata kuliah yang diambil, sesudah Ujian Tengah Semester (UTS) dapat digunakan untuk liburkan diri. Semester ini saya cuma ambil satu mata kuliah saja, itu juga cuma mengulang-ulang sebab nilai awalnya di rasa belum optimal. Tentunya bekasnya ialah skripsi yang belum selesai saya buat semenjak semester awalnya. Pusing!

Agenda UTS seputar dua minggu. Kebetulan agenda tes mata kuliah yang saya mengambil berada di hari ke-2. Jadi sesudah usai, tersisa saatnya dapat ku pakai untuk mudik sebelum pada akhirnya kembali pada universitas, dua minggu setelah itu. 

Berlibur kesempatan ini ingin saya gunakan untuk bersantai-santai sesaat lupakan teori-teori kuliah, organisasi-organisasi di universitas dan kepentingan skripsi. Setop! Taklukkan dahulu intinya.

Menyengaja saya mandi pagi-pagi sekali. Setelah subuh langsung bergegas menyambar ember kecil perlengkapan mandi serta berjalan ke kamar mandi siswa. Lho?? Yup! kebetulan Papahku kerja di salah satunya sekolah negeri. Walaupun cuma pegawai rendahan, alhamdulillah diperbolehkan tempati rumah dinas ala kandungannya yang berada di komplek sekolahan, meskipun untuk kamar mandi harus ikhlas bersamaan dengan WC siswa yang jaraknya seputar 50 mtr.. Cukup dibanding harus ngontrak, pendapatan Papahku mana cukup. Belum juga harus membayar saya serta satu adikku yang sedang kuliah. Ditambah masih ada 4 adikku lagi yang masih tetap sekolah di kursi SMA, SMP, serta SD.

Mudahnya Bermain Taruhan Bola Online

Yap! Saya hidup 6 bersaudara dengan saya untuk anak pertama. Mamahku tidak diizinkan kerja, cuma mengurus rumah serta beberapa anak yang berlimpah sampai 1/2 lusin. Sebenernya benar-benar tidak logis dalam hitungan matematika, ayahku yang kerja cuma untuk pegawai rendahan dengan upah rata-rata 1,5 juta, dapat menyekolahkan 2 anaknya kuliah, ditambah bekasnya masih mengenyam kursi sekolah. Tetapi itu matematika rezeki. Tidak ada yang dapat menghitungnya serta memprediksinya. Cuma bermodal nekat serta harapan supaya anaknya tidak seperti orang tuanya yang cuma tamatan SD serta SMA, karena itu kuliah ialah satu "kewajiban" buat kami, anak-anaknya. Kepentingan kelak bagaimana biayanya, itu kepentingan lain. Kepentingan terakhir. Demikian sebut Papah setiap saat berikan motivasi anaknya untuk selalu sekolah tinggi.

"Mamah di sini masak apa yang ada, Wib. Cukup makan dengan terasi goreng atau garam seringkali. Adik-adikmu suka tuch", demikian tutur mamah waktu lalu yang membuat saya terasanya jadi anak durhaka.

Pikirkan, saya di sini kuliah dapat makan nasi ramais sedang ke-2 orang tuaku serta adik-adikku lainnya di dalam rumah harus ikhlas makan cukup dengan terasi, dengan garam atau seadanya makanan? Oh Gusti Dewata Agung jangan laknat hamba jadi batu.

"Tumben Wib, pagi-pagi sudah ingin mandi", sebut Mamah waktu melihatku bergegas ke kamar mandi.

"Ingin jalanan Mah, cari udara kota yang seger. Bosen di desa selalu" jawabku sekalian nyengir.

Usai mandi, kubangunkan adikku yang sangat kecil, Purnomo.

"heh, bangun Pur sudah pagi. Turut jalanan gak?" ku goyangkan badan adikku. 

Ia langsung bangun tanpa ada tanggapan serta langsung lari untuk mandi.

Purnomo ini masih kelas 3 SD. Ia benar-benar suka jika saya pulang ke rumah. Terkadang ia ikhlas bangun malam-malam jika tahu saya ingin pulang ke rumah. Maklum, umumnya saya pulang dari perantauan sore hari atau habis magrib serta baru sampai di dalam rumah telah pada terlelap. Juga pernah ia muram dikarenakan tidak ada yang menggugah waktu saya tiba, meskipun ia tahu, setiap saya pulang hampir tidak sempat bawa oleh-oleh.

"Mah, kapan Aa Wibi pulang? Kok gak pulang-pulang sich?" demikian bertanya Purnomo pada Mamah jika saya lama tidak pulang.

Sesudah Purnomo usai mandi, kusiapkan sepeda. Lalu berboncengan kami melaju telusuri jalanan Kota Udang yang masih tetap sepi. Beberapa lampu penerang jalan juga masih menyala.

"ahh, jarang nih nikmati udara fresh perkotaan jenis gini", gumamku dalam hati. 

Sebab jika fresh udara pagi pedesaan, pegunungan itu telah begitu umum.

Share:
Lokasi: Indonesia

Ordered List

Sample Text

Definition List

Theme Support