Senin, 22 Juni 2020

Selamat Jalan Mamah (2)




Sepulang dari kontrol ke dokter, di dalam rumah, Mamah semakin nampak beralih raut wajahnya. Papah yang lihat perkembangan raut muka langsung menanyakan, "barusan hasil periksanya bagaimana?".

"Tuturnya suruh cek darah sama ke lab dahulu, ini surat referensi dari dokternya" jawab Mamah sekalian menyodorkan selembar kertas dengan tulisan cacing tidak jelas ciri khas tulisan dokter.

"Ya telah esok langsung saja ke rumah sakit atau ke Pramita," pendapat Papah.

"Agar cepat diketahui penyakitnya serta agar selekasnya diobati jika memang benar ada penyakitnya. Semoga sich tidak ada apa-apa", tutur Papah sekalian sedikit menentramkan.

Mulai sejak itu, kelihatannya Mamah kadang senang melamun dengan tatapan kosong. Seperti ada beban berat yang dipikir, semakin berat dari tagihan utang rentenir. Saya yang tangkap perkembangan itu jadi turut cemas. Memang, kadang kemauan hati sebatas check kesehatan teratur, sesudah teridentifikasi ada penyakit spesifik, malah info itu yang membuat badan berasa sakit beneran. Meskipun awalnya sehat tanpa rasakan sakit apa saja. Ini yang dirasakan Mamah.

Esok harinya, sebab didorong rasa ingin tahu, Papah mengantarkan mamah untuk cek laboratorium sesuai dengan saran dokter. Demikian hasil keluar, keesokannya langsung diskusi dengan Dokter Hary lagi.

"Ibu Tati, ibu berasa ada keluh kesah ini semenjak kapan?" mendadak dokter menanyakan sekalian mebolak-balik kertas hasil kontrol lab.

"aduh, kurang memahami dok. Kayanya sich baru saja deh. Itu juga cuma kadang-kadang saja. Karena hanya pendapat dari rekan-rekan untuk selekasnya check saja pada akhirnya saya iseng kontrol ke sini, dok", jawab Mamah panjang lebar.

"mmhhh... Begitu ya? Soalnya jika melihat hasil dari ini, kelihatannya Ibu telah lama alami tanda-tanda ini. Tapi masih untung sich ini selekasnya diketahui" sebut dokter dengan benar-benar berhati-hati.

Sebab ingin tahu, saya yang dari barusan duduk diam di sudut ruangan check langsung menanyakan, "jika bisa tahu, mengapa sich dok, ibu saya? Itu hasilnya bagaimana?".

"Maaf ya Mas, Bu, jika hasil analisis saya dengan dibantu hasil laboratorium ini... sangkaan awal saya betul... jika ibu... menderita kanker payudara. Serta ini kelihatannya telah masuk kelompok fase tiga."

Duaarrrrr!! Innalillahi ya Allah Ya Kariim Ya Rahman Ya Rahim Ya Aziz Ya Jawa barat Ya Muttakabir. Terasanya ada halilintar di siang bolong. Mendadak lemes ini dengkul keroposku. Ku lirik Mamah cuma melongo saja tanpa ada memberi respon apa saja. Dokterpun sesaat diam memperhatikan reaksi kami berdua.

Dengan style sok cool bermaksud menghibur diri kita, "oohh kanker ya dok? Fase 3 ya?" tanyaku basa basi sekalian pura-pura biasa saja.

Dokter Hary tersenyum, "tenang saja tidak perlu takut. Masih dapat diobati kok. Toh ini gak sampai fase akhir. Banyak yang dapat pulih asal semangat, optimistis, jangan malas minum obat atau kontrol ke dokter", ia menghibur kami sesudah lihat raut muka kami yang tiba-tiba lesu.

Kemudian, tidak ku ingat lagi dokter mengatakan apa dengan Mamah. Tidak ku lihat lagi dokter memberikan saran serta resep apa. Sesudah menebus obat di apotek, kami langsung melaju pulang dengan perasaan tidak karuan.
Di becak waktu perjalanan pulang Mamah tidak banyak omong. Cuma beberapa pertanyaan saja yang dilemparkan padaku tanpa ada menginginkan jawaban .

"Mengapa Mamah dapat ini ya Wib? Pulihnya lama tidak ya kurang lebih? Mahal ya ongkos penyembuhannya?" itu pertanyaan-pertanyaan yang terlontar selama perjalanan pulang.

Sampai di dalam rumah telah magrib. Seperti umumnya, Papah langsung cecar dengan pertanyaan-pertanyaan. Waktu dikasih tahu jika Mamah menderita kanker fase 3, reaksi Papah cuma "laaahh...kanker tah?" dengan gestur datar. Adik-adikku lainnya terkejut, ada pula yang bingung tidak pahami.

Mudahnya Bermain Taruhan Bola Online

Kutinggal percakapan Mamah Papah serta Adik-adik yang masih tetap mengulas hasi check dokter. Ku pergi solat yang hampir ketinggalan sebab hampir masuk waktu Isya. Usai solat, saya masih terduduk di atas sajadah. Merenung. Diam.

Ya Allah, masalah apalagi yang akan Engkau amanahkan pada kami? Belum puaskah Engkau lihat ke-2 orang tuaku menderita? Belum cukup kah kami terima kesulitan? Beri kami kemampuan. Inikah surat cintaMu buat kami?

Kulipat sajadah sebelumnya setelah sekaligus solat Isya. Kurebahkan badan ini di lantai beralas karpet kedaluwarsa yang di pojokan nampak ada bolong-bolong. 

Rumah kami tidak cukup untuk memuat semua bagian keluarga jika bergabung. Jadi sangat terpaksa beberapa ada yang tidur di lantai ruangan tamu yang memiliki ukuran 2x3 mtr.. Serta jika semua bagian keluarga komplet bergabung, Papah harus ikhlas "ngungsi" untuk tidur di kantor. Sekaligus temani yang menjaga malam, tuturnya. Terkadang saya juga turut ngungsi tidur di kantor Papah. Selonjor di bangku sofa kantor.

Kupejamkan mata, mengharap besok kan keluar bangbang wetan yang cerah meniadakan semua sendu, berlalu, pada malam itu.

Pagi hari, ku membuka mata. Ku melihat setangkai purnama ketinggalan di taman. Ku berharap tempo hari ialah mimpi. Tetapi apes! Rupanya ini riil, waktu ekor mataku tangkap amplop besar dengan logo laboratorium klinik.

Hari bertukar hari, minggu bertukar minggu, bulan bertukar bulan. Situasi Mamah seperti terlihat banyak desakan meskipun dengan cara fisik, penyakitnya yang fase 3 jarang-jarang dirasanya. Cuma kadang-kadang senut-senut saja tuturnya. Beban pemikiran yang menyelimuti lah yang membuat Mamah jadi seperti orang sakit. Walau sebenarnya jauh sebelumnya, kemungkinan waktu masih step fase 1, fase 2, Mamah sehat-sehat saja hingga kemudian ketahui vonis dokter waktu check beberapa bulan kemarin.

Sesudah tragedi check dokter itu, kami sekeluarga menyemangatinya. Kami katakan itu bukan penyakit mencekam. Toh faktanya sejauh ini sehat wal 'afiat meskipun menderita kanker yang tidak teridentifikasi. Ditambah semangat dari ibu-ibu Dharma Wanita di kantor Papah. Kebetulan ada salah seorang personil Dharma Wanita yang menderita penyakit hits buat kaum wanita itu. Rupanya sampai saat ini masih sehat-sehat saja.

Mamah rajin pergi ke dokter dengan cara teratur. tidak lupa dengarkan saran-nasehat serta saran beberapa orang yang punyai pengalaman sama. Kecuali obat-obat dari dokter, Mamah coba penyembuhan-pengobatan tradisionil berbentuk jamu dari daun-daunan serta sejenisnya. Namanya usaha, tiap peluang, pantas dicoba. Tidak bisa patah arang, kata Papah yang menyemangati. Sampai datang waktunya berobat yang ke demikian kali pada dokter ahli. Kebetulan saya juga sedang pulang ke rumah lagi. Jelas, kepentingan antar mengantarkan jadi urusanku sebab adik-adik lainnya sekolah serta Papah kerja.

Sejak vonis kanker saat itu, kontrol kesehatan diarahkan pada dokter ahli, bukan lagi dengan Dokter Hary yang notabene ialah dokter umum. Dokter merekomendasikan satu aksi operasi untuk mengusung sel kanker yang berada di buah dada samping kiri. Alamaakk! Harus operasi juga. Semakin buat lemas saja dengar keterangan dokter spasialis penyakit dalam. Mamah? Tidak perlu kau bertanya, jelas mamah protes serta merintih untuk dengar pendapat dokter ini.

"Mengapa harus operasi dok? Tidak ada pilihan lain? Biayanya kan mahal" gerutu Mamah.

"Ini aksi yang sangat sangat mungkin untuk kesempatan kesembuhan, Bu. Sebab jika tidak selekasnya diangkat, saya cemas sel kanker akan menyebar ke payudara sampingnya atau serta menyebar ke sisi lain. Salah satu langkah dengan pengangkatan" jelas si dokter.

Kami pulang dengan muka lesu memikirkan operasi. Horor. Belum juga memikir ongkos. Entahlah. Dalam perjalan pulang dengan angkutan favorite, becak, mendadak Mamah nyletuk,
Share:
Lokasi: Indonesia

Ordered List

Sample Text

Definition List

Theme Support