Senin, 22 Juni 2020

Cerita-cerita Senyap dari Sebuah Desa




Desa tempat Ivan serta teman-temannya dari lintas fakultas melakukan Kuliah Kerja Riil (KKN) ialah desa yang telah maju, di samping selatan Wuluhan. Sebagian besar penduduknya datang dari Jawa Mataraman. Kehidupan kota terasa sangat di desa ini, walau memiliki jarak kira-kira 40 KM dari Jember. Rumah, sepeda motor, mobil pribadi, atau truk biasa bersliweran di jalan hot mix. Golongan pemudanya banyak juga yang kuliah atau minimal lulus SMA. Sejumlah besar masyarakatnya bertani. Beberapa pemuda yang tidak kuliah, dari pagi sampai siang ke sawah. Mereka benar-benar giat kerja. Umumnya setelah Dzuhur sampai Ashar, beberapa mereka senang taruhan domino di warung Mbah Jon sekalian nyruput kopi. Mereka benar-benar nikmati permainan itu. Mas Toto katakan jika mereka taruhan tidak untuk memperoleh banyak uang, tetapi sebatas selingan di saat senggang. Paling-paling kelak jika menang buat membeli rokok serta ngopi bersama-sama. 

Mereka memang senang taruhan, tapi sikap sosial mereka sangat baik. Beberapa waktu lalu, contohnya, saat ada salah satunya masyarakat yang wafat, Mas Toto serta ‘pasukannya' langsung ke arah kuburan, tanpa ada diharap. Tidak lupa dia ajak Ivan. Sekalian bergurau mengenai cewek-cewek sebagai sasaran, mereka mengeduk tanah kuburan yang jadi kering oleh kemarau. Ganco serta cangkul jadi teman dekat yang betul-betul menolong. Seputar 3 jam, lubang kuburan sedalam 1,5 mtr. sukses digali.

"Memang, beberapa masyarakat yang tidak senang pada sikap setiap hari kami di warung Mbah Jon, menyebutkan kami preman, Mas. Ya, biasalah, di desa, ada yang tidak suka, ada yang menganggap biasa saja. Buat kami yang perlu kami tidak mengambil punya masyarakat. Haram hukumnya, Mas. Yang perlu kami aktif dalam pekerjaan sosial seperti jika ada kematian semacam ini, Mas. Minimal, kami ini masih punyai hati untuk menolong seseorang, bukan hanya preman yang menyukai taruhan serta mabok," papar Mas Toto sekalian bertumpu pada tangkai pohon bendho.

Mudahnya Bermain Taruhan Bola Online

"Siapa sich, Mas, yang menyebutkan Sampean serta teman-teman preman?" bertanya Ivan sekalian mainkan rerumputan kering.

"Ya, ada-ada saja, Mas. Ya, tokoh agama dan beberapa guru. Tetapi, ya tidak semua. Pak Karim, ia guru, tetapi belum pernah mengolok-olok kami. Umumnya memang tokoh agama. Lucunya, beberapa tokoh agama itu belum pernah menyentuh kebaikan kami waktu ada kematian atapun kerja bhakti bersih desa, tapi menyinggung-nyinggung pekerjaan setiap hari kami di warung, yang tuturnya dosa, preman, brandalan, tidak tahu agama, macam-macamlah." 

Selang sesaat, rombongan pembawa jenasah tiba diiringi tokoh agama, piranti desa, serta bagian keluarga. Mas Toto serta teman-teman selekasnya bersiap-siap untuk penguburan. Sesudah jenasah usai dikubur, Pak Modin memberi kutbah kematian. Rupanya Mas Toto serta teman-temannya turut dengarkan dengan cermat. 

Demikianlah, pertentangan di antara beberapa pemuda yang menyukai nongkrong di warung dengan tokoh agama menjadi warna setiap hari. Meski begitu, tidaklah sampai berbuntut pada perselisihan terbuka serta kontak fisik. Pada keadaan demikian, beberapa mahasiswa KKN memang seharusnya pintar-pintar bersiasat, agar tidak terjerat pada salah satunya tim, sebab dapat mengganggu penerapan program di desa. Terkadang, mereka harus bengkerengan, berdiskusi dengan keras, saat ada salah satunya anggota yang ajak untuk menjahui beberapa pemuda. Langkah pandang semacam itu dapat mengganggu program dalam bagian kepemudaan serta olah raga. Jika telah bengkerengan, Nunung, mahasiswi dari Fisipol, akan mengatasi serta semua jadi diam. Ya, Nunung memang profil penyatu di posko. Ia dapat menggabungkan keliaran pemikiran Ivan serta beberapa kawan dengan keteraturan pemikiran beberapa kawan lainnya.

Masuk bulan ke-2, Ivan mengawali program mandiri. Sesuai dengan bagiannya, Ivan mengajar Bahasa Inggris di salah satunya yang diurus oleh salah satunya organisasi keagaamaan Islam dalam suatu dusun, seputar 1 KM arah barat posko. Hari pertama dia masuk, beberapa murid kelas 5 memandangnya dengan aneh. Beberapa lainnya, cuma tersenyum. Ivan berupaya mengakrabkan diri dengan mereka. Untung dia bisa pengetahuan teater, jadi dapat acting jadi guru, sebab sempat memang tidak memperoleh tehnik mengajar di Universitas. Dengan acting-nya yang kadang gahar kadang lucu itu beberapa murid, pada akhirnya, dapat menerimanya. 

Di hari ke-2 jadi ‘guru' dia meminta izin pada kepala sekolah untuk ajak mereka jalan-jalan ke sungai kecil di tepi sekolah; mengajarkan mereka dengan situasi fresh, agar tidak di kelas saja. Guru kelas, seorang wanita berhijab yang alim serta ayu, mendampinginya. Rupanya ia cuma alumnus SMA. Sebab kurang guru, karena itu ia diambil. Tahun kedepan gagasannya ia ingin kuliah PGSD di Kampus Jember. Awalannya ia terlihat risih sebab kemungkinan rambut Ivan yang gondrong. Tetapi, kemungkinan sesudah lihat langkah mengajarnya langsung dekatkan murid pada alam, wanita itu dapat cair. Nama, Bu Guru itu Aulia. Ivan menyebutnya "Ay"—sebuah panggilan yang aneh, sebab Aulia biasa dipanggil Lia di dusunnya. Umurnya dua tahun semakin muda dari Ivan.

Hari-hari selanjutnya bersama-sama Aulia rupanya benar-benar membahagiakan. Mereka cepat dekat. Serta beberapa murid kelas 6 yang telah pahami makna pacaran, seringkali menjodoh-jodohkan Ivan dengan Aulia. Wah-wah, beberapa anak saat ini memang ramai. Terkadang Ivan seringkali kikuk, saat di kelas Aulia duduk bersama-sama beberapa murid memerhatikan triknya mengajar bahasa Inggris. Yang sangat membuat malu ialah saat mata mereka sama-sama bertubrukan. Ivan betul-betul kalah oleh pandangan mata wanita berhijab itu.

"Memang, Ay telah punyai calon, ya?" bertanya Ivan membulatkan tekad, saat mereka berdua ada di ruangan guru waktu jam istirahat. Kepala Sekolah serta guru-guru yang lain sedang ada rapat dinas di kecamatan. Ia terlihat malu-malu.

Share:
Lokasi: Indonesia

Ordered List

Sample Text

Definition List

Theme Support